Kontroversi Angkutan Online dan Konvensional, Bagaimana Peran Mahasiswa Teknik Informatika?
Tim Jurnalis TIF, Bandung (17/10/2017) –Belakangan ini aplikasi layanan transportasi online sedang naik pamor. Beberapa brand transportasi online sudah melebarkan sayap dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Tidak hanya mengantar – jemput penumpang saja, tetapi juga mengantar makanan, barang, bahkan menyediakan jasa lainnya. Hal itu memudahkan para penggunanya dalam menikmati layanan yang ada.
Namun ketika sedang giat-giatnya ekspansi, ojek online kerap kali mendapat perlawanan dari pemain lama dunia per-ojek-an, yakni ojek konvensional. Salah satu contoh real paling kentara yaitu di Jalan Geger Kalong Girang, Kecamatan Sukasari, Bandung.
Sebuah banner yang terpampang disekitar pertigaan itu dengan gamblang menyatakan bahwa “Ojek online dilarang menjemput penumpang dikawasan Gerlong Girang”.
Sebegitu mengerikannya kemajuan teknologi?
Selain ojek online, taxi online pun mengalami hal serupa. Perlawanan dilakukan oleh para sopir angkutan umum berbasis daring yang berujung pada pemberhentian sementara aktivitas angkutan online dikota Bandung, beberapa saat lalu. Berita ini sempat menjadi simpang siur karena para sopir angkot di area Bandung Raya berencana mogok, namun tidak jadi, tapi akhirnya mogok juga walaupun tidak semua.
Hal ini tentu saja merugikan masyarakat sebagai pengguna jalan, yakni dalam memenuhi kebutuhannya pasti memilih angkutan yang cepat, murah dan nyaman. Jika kedua pihak terus bergesekan, lantas masyarakat harus memilih yang mana?
Menanggapi problematika angkutan online VS konvensional tersebut, bagaimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change? Social control? Terlebih yang mengambil kosentrasi keilmuan Teknik Informatika yang tentu saja mempelajari kemajuan teknologi, bukan? Apakah perkembangan teknologi memudahkan? atau justru mematikan?
Mahasiswa, sebuah predikat yang di gadang-gadang sebagai garda terdepan perubahan bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam menciptakan kondisi kehidupan kampus dan juga kehidupan diluar kampus yang harmonis.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Papan tulis – papan tulis pengajar mengarah pada permasalahan dunia nyata. Diktat hanya memberi metode, mahasiswa yang merumuskan keadaan dan memberi solusi atas persoalan. Begitulah idealnya.
Pada sebuah forum diskusi dalam kelas di Teknik Informatika UNPAS yang kebetulan penulis terlibat membahas masalah ini, sang dosen mengatakan “Jangan sampai gara-gara kemajuan teknologi, aspek kehidupan lain jadi terganggu”.
Jadi, solusinya bagaimana?
Pendapat-pendapat kritis dari mahasiswa pun terlontar, mulai dari sudut pandang Dinas Perhubungan yang memberikan kebijakan tentang transportasi. Dan usulan perbaikan kualitas layanan angkot maupun usulan tidak diberhentikannya angkutan online.
“Rezeki itu sudah ada yang ngatur, tinggal kitanya mau berusaha atau tidak, mau ikhlas menerima atau tidak” –ujar Imam Faridl Rizaldi, Mahasiswa Teknik Informatika UNPAS. sebuah statement yang membuat kita mikir kencang.
Ya, mungkin dalam hal ini ada yang merasa tidak ikhlas. Padahal semuanya juga berusaha dengan caranya masing-masing. Sopir angkot dengan nge-tem nya, kitanya saja yang tidak ikhlas menunggu. Ojek online dengan memberi pelayanan semaksimal mungkin, ojek konvensionalnya yang takut tersaingi. Padahal hidup ini sederhana, penafsirannya yang luar biasa.
Sebuah gesekan terjadi karena salahsatu pihak ada yang merasa –ter. Entah ter-ampas haknya, ter-ambil penumpangnya, dan ter-ter lainnya. Yang disayangkan adalah kultur bangsa kita yang belum bisa adaptif dengan kemajuan teknologi. Sama-sama cari makan jangan sampai sikut-sikutan lah.
Mungkin begitu salahsatu keterlibatan mahasiswa dalam menghadapi problematika sosial. Salahsatunya dengan diskusi, membuka wawasan dan daya nalar. Karena kuliah di Teknik Informatika tidak melulu berhadapan dengan laptop atau codingan tapi juga memahami isu sekitar.
Peran mahasiswa inilah yang diharapkan masyarakat. Jika tidak mampu berkontribusi secara konkrit dengan aksi nyata, minimalnya berkontribusi secara abstrak dengan menuangkan ide-ide dan pemikiran. Siapa tahu dengan ide kita dapat lahir sebuah tindakan yang bisa mempengaruhi kemaslahatan umat. Karena menurut W.S Rendra, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Mari kita berjuang dengan cara masing-masing untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis.
Perihal transportasi online maupun konvensional tadi, tidak ada yang tau sumber rezeki yang kita itu dapat berasal darimana. Namun harapan baik itu pasti terucap oleh sopir taksi, sopir angkutan kota, tukang ojek, baik itu konvensional maupun online dan siapapun yang mencari nafkah di jalanan. Jangan sampai kekerasan menjadi cara yang digunakan untuk mengelola sebuah konflik.
Aspal Boleh Panas, Hati dan Kepala Harus Dingin!